Sudah menjadi kelaziman di setiap jelang perhelatan pesta demokrasi, baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden atau pun pemilihan kepala daerah, mendadak bermunculan hasil-hasil jajak pendapat dari bermacam lembaga survei. Setiap lembaga survei beramai-ramai merilis hasil surveinya untuk dipublikasikan ke publik. Dan sudah bukan rahasia umum bahwa sejumlah lembaga survei sengaja dipakai oleh para kandidat yang bakal bertarung dalam suatu pemilihan untuk mengetahui sejauh mana popularitas dan elektabilitasnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul, sejauh mana objektivitas dan kredibilitas dari lembaga-lembaga survei tersebut atas hasil polling yang dilakukannya. Setiap hasil survei yang disampaikan ke masyarakat luas tentunya harus dapat dipertanggungjawabkan. Keakuratan dan keterpercayaan harus melekat pada setiap lembaga survei. Sebab, bakal muncul persoalan jika hasil survei ternyata dibuat sedemikian rupa alias direkayasa oleh lembaga survei dengan tujuan hanya untuk “menyenangkan” pihak yang telah menggunakan jasa dari lembaga survei tersebut. Tak hanya pihak pengguna jasa survei yang dirugikan, masyarakat pun merasa ditipu bila hasil survei tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
Persoalan akan menjadi lebih rumit lagi bila si kandidat atau pihak yang memakai jasa lembaga survei memang sengaja menggunakan lembaga survei yang hasilnya bisa dipesan dan menjadi alat propaganda suatu kandidat atau partai politik tertentu. Di sinilah setiap lembaga survei mutlak dituntut untuk memiliki integritas dan komitmen etis. Berkaca pada berbagai hasil lembaga survei yang menggelar jajak pendapat maupun penghitungan cepat pada ajang pemilihan presiden 2014 lalu, ketika itu publik dikejutkan oleh delapan lembaga survei yang dipanggil oleh Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) untuk diaudit terkait hasil hitung cepat.
Akal-akalan atau manipulasi data mewarnai wajah survei di Indonesia. Saat itu sedikitnya dua lembaga survei yakni Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dikeluarkan dari keanggotaan Persepi berdasarkan keputusan Dewan Etik Persepsi. Kedua lembaga survei tersebut tidak memenuhi panggilan untuk mempresentasikan hasil dan tidak mempertanggungjawabkan kegiatan ilmiah yang dinilai telah memunculkan pertentangan di publik. Ihwal keikutsertaan lembaga survei ini disinggung dalam Pasal 246 dan Pasal 247 UU Nomor 8 tahun 2012 meskipun tidak secara jelas dan tegas pengaturannya.
Di bursa pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017, sejak awal 2016 sudah kerap bermunculan hasil-hasil survei yang menyodorkan keunggulan setiap kandidat. Baik menjelang masa kampanye pada 28 Oktober mendatang dan selama hingga akhir masa kampanye nanti, dipastikan bakal banyak bermunculan hasil-hasil survei. Antara satu lembaga survei dengan yang lainnya seakan berlomba-lomba memaparkan setiap hasil survei yang digelar. Fenomena lembaga survei di musim pemilihan kepala daerah ini dicermati oleh Badan Pengawas Pemilu. Anggota Bawaslu Nasrullah menilai perlunya audit terhadap lembaga survei yang bermunculan saat ini.
Bagi Bawaslu metode jajak pendapat yang diterapkan lembaga survei perlu dipertanyakan. Menurut Nasrullah, kalau hasil dari lembaga survei ada yang berbeda maka bisa dilakukan audit dan hasilnya juga harus disampaikan ke publik. Nasrullah juga merujuk pada pemilihan presiden 2014, yaitu setiap lembaga survei menghasilkan penelitian yang berbeda terhadap elektabilitas setiap kontestan. Bawaslu, kata Nasrullah, dapat merekomendasikan audit kepada asosiasi yang membawahi lembaga survei. Saat ini setidaknya terdapat dua asosiasi lembaga survei, yaitu Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia dan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia.
Perlunya audit terhadap lembaga survei direspons positif oleh peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfarabie dan peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes. Baik Adjie maupun Arya setuju dengan wacana yang dipaparkan Nasrullah. Adjie menyebut penyimpangan data dan kebohongan publik adalah dua kejahatan yang biasa dilakukan badan jajak pendapat. Adapun Arya menekankan setiap lembaga survei harus menyajikan data yang benar sesuai fakta. Profesionalitas dan integritas lembaga survei sangat penting agar publik mendapat hasil yang akurat. “Jangan abal-abal,” ucap Arya mengingatkan.
Namun Arya dan Adjie mengakui adanya kesulitan dalam hal audit karena tidak semua lembaga survei menjadi anggota asosiasi ataupun perhimpunan. “Belum semua lembaga survei terdaftar sebagai anggota. Audit hanya bisa dilakukan pada anggota. Yang diaudit itu yang hasil surveinya dirilis ke publik,” ujar Arya. Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menyoroti persoalan tersebut sudah menjadi problem lama, yang semestinya sejak dulu sudah ada kerja sama antara Bawaslu atau KPU dengan kalangan lembaga survei.
Menurut pengamatan Jeirry, sejak 2014 sudah ada pola lembaga-lembaga survei tidak mau bergabung ke asosiasi supaya bisa lebih bebas. Namun yang lantas menjadi persoalan, tidak ada aturan yang jelas soal lembaga survei terkait pemilu. “Ada masalah di keterbatasan pengaturan. Tidak bisa ditindak kalau bukan anggota asosiasi atau perhimpunan lembaga survei.” Padahal bagi Jeirry, sangat diperlukan aturan yang jelas dan tegas karena hasil survei bisa mempengaruhi dan juga menggiring atau membangun opini publik untuk kepentingan tertentu. Hasil survei memang bukan patokan atau segala-gala untuk mengetahui sekuat apa seorang calon di mata publik yang memiliki hak pilih. Namun setidaknya bisa menjadi acuan dan peta kekuatan bagi setiap calon dan juga publik untuk mengevaluasi seberapa besar atau lemahnya dukungan masyarakat. (CNNIndonesia)