Pembentukan bela negara dengan pelatihan dasar kemiliteran yang direncanakan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan), dikhawartirkan dapat membuka ruang terbentuknya berbagai macam milisi atau paramiliter baru. Merujuk pada masa lalu, milisi seringkali menjadi bagian dari berbagai konflik yang ada di Indonesia. "Seperti milisi di Timor Leste, milisi di Aceh, milisi di Papua, maupun seperti Pamswakarsa di Jakarta," ujar Direktur Imparsial Poengky Indarti kepada Okezone, Jumat (16/10/2015). Ia menambahkan, pernyataan Menhan Jenderal (Purn) Ryamirzad Ryacudu terkait warga negara yang menolak perlu angkat kaki dari Indonesia, menyiratkan bahwa program tersebut bernuansa militer.
Ia pun mengecam pernyataan tersebut lantaran bertentangan dengan HAM, khususnya resolusi PBB terkait prinsip concentius objection. "Pada prinsip tersebut, mengakui bahwa setiap warga negara yang atas dasar keyakinan dan agamanya berhak menolak wajib militer karena menolak penyelesaian konflik dengan senjata," ucap Pengky. Bahkan, terkait hal tersebut, Komisi Tinggi HAM PBB juga telah mengeluarkan resolusi tentang penolakan terhadap wajib militer oleh seseorang. "Sudah ada Resolusi tentang penolakan wajib militer," pungkasnya.
Program bela negara yang digagas Kementerian Pertahanan dengan merekrut 100 juta kader, terus menuai reaksi masyarakat. Kontra pun kali ini datang dari Koalisi Muda Indonesia. Dikhawatirkan program itu justru menghidupkan kembali sistem otoriter, seperti zaman Orde Baru. "Nasionalisme ini seperti yang pernah dilakukan masa Orde Baru rezim Soeharto. Urgensinya apa bela negara? Padahal (negara) kita tak sedang diserang oleh negara manapun," kata Anggota Koalisi Muda Indonesia, Surya Antara di Jakarta Senin (19/10/2015).
Menurut Surya, tidak tepat program tersebut diaktifkan dengan dalih untuk meningkatkan semangat nasionalisme masyarakat. Justru, kata Surya, nasionalisme yang dituangkan ke dalam program bela negara, bisa-bisa menimbulkan interprestasi subjektif dari pemerintah. Apalagi kondisi bangsa Indonesia tidak berada dalam kondisi perang, seperti dialami negara lain. "Di negara-negara lain sudah mulai ditinggalkan. Tapi seakan-akan kita sedang perang semesta, sementara Indonesia sedang dalam situasi terbuka secara demokrasi," ujarnya.
Surya khawatir keinginan pemerintah untuk merekrut kader bela negara akan membungkam sistem demokrasi yang berkembang di Indonesia. Sehingga bela negara ini akan dipakai negara untuk membatasi hak menyatakan pendapat. "Kami khawatir bela negara ini justru untuk meredam gejolak perlawanan di masyarakat, untuk membungkam partisipasi publik dalam menyoroti kinerja negara, yang memunculkan paradigma jangan menggertak, jangan mendemo, jangan menolak pemerintah," imbuhnya.
Home »
Pertahanan
» Masyarakat Berhak Tolak Ikut Program Bela Negara